GET TO KNOW ME!

Get to Know Me

Marselina Tabita Tumundo is a full-time TV journalist, working in the pioneer of news television channel in the country, Metro TV. Fun fact,...

Monday, 23 August 2021

Toba Sweet Escape

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah mendengar nama Danau Toba sebagai salah satu fenomena alam yang membanggakan bagi Indonesia. Danau Toba merupakan danau yang terbentuk akibat terjadinya letusan gunung vulkanik sekitar 74.000 tahun lalu. Letusannya disebut-sebut begitu dahsyat, bahkan sangat berbahaya hingga mengancam kehidupan manusia pada saat itu.

Tapi, siapa sangka tragedi alam yang disaksikan nenek moyang kita dulu menjadi panorama yang begitu indah. Di sekelilingnya hidup peradaban manusia dengan tanah yang subur, yang terus berkembang hingga zaman modern. Saya pun beruntung karena bisa menginjakkan kaki di Toba bertepatan dengan momen hari kemerdekaan di HUT ke-76 Republik Indonesia. Meskipun perjalanan kali ini termasuk perjalanan dinas kantor, Toba tetap memberikan kenangan tersendiri bagi saya, sehingga mendorong saya untuk menuangkan segala hal yang bisa saya ingat tentang Toba melalui tulisan ini. Dalam tulisan ini, saya ajak anda meresapi keindahan Danau Toba dari suatu wilayah di bagian selatannya, yaitu Kabupaten Toba. Tentu, saya juga akan memperkenalkan anda pada budaya masyarakat lokal yang mayoritasnya adalah keturunan asli Suku Batak Toba.

Sepiring mie gomak menjadi menu pertama saya setibanya di Balige, Toba. Mie gomak nampaknya menjadi menu sarapan andalan di sini, layaknya nasi uduk atau bubur ayam kalau di Jakarta. Mie gomak memiliki tekstur yang kenyal dan ukuran mie yang besar-besar, dipadukan dengan lauk seperti telur balado, sayur labu kuah santan, serta ikan teri. Tak perlu mahal-mahal, mie gomak ini harganya hanya 10 ribu rupiah.

Dari kedai inilah, saya pertama kali merasakan kearifan lokal yang begitu kental. Ketika ingin membayar mie gomak, sang ibu pemilik kedai pun memulai percakapan dengan bertanya, "Orang ibu dari mana?" Nah, ini dia yang saya tunggu-tunggu, mendengar logat khas Batak langsung di tanah asalnya. Lekukan lidah khas bernada tegas dengan suara lantang, yang sebelumnya cuma saya dengar dari teman-teman perantau ketika berada di kampus. Sekarang, saya berpijak di kampung halaman mereka.

Penerbangan pukul 6 pagi dari Jakarta membuat saya masih terkantuk-kantuk walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 11. Alhasil, saya lanjut mencari kopi. Berkunjunglah saya ke Kedai Kopi Partungkoan, di Jalan Sisingamangaraja nomor 172, masih di Balige. Kedai ini sudah berdiri sejak tahun 1954. Kepemilikannya pun sudah turun-temurun sampai tiga generasi. Kali itu, saya bertemu dan mewawancarai Rohani Tampubolon sebagai pemilik Partungkoan generasi kedua, yang mengizinkan saya memanggilnya dengan sebutan Eda. Dalam budaya Batak, Eda merupakan kata sapaan bagi sesama perempuan. 

Eda Rohani bercerita, nama Partungkoan (Partukkoan) memiliki arti tempat berkumpulnya para tetua-tetua adat untuk bermusyawarah, bermufakat, dan  merumuskan sebuah peraturan. Nama itu pun menjadi bukti bahwa berkomunikasi dan bermasyarakat sudah dibudayakan oleh nenek moyang kita sejak dulu, dan tentu diharapkan menjadi suatu kebiasaan yang terus relevan hingga saat ini dan di masa mendatang. 

Puas mengisi perut, saya bergegas ke penginapan untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pekerjaan. Awalnya, saya cukup kesulitan mencari penginapan di Toba sekalipun telah menggunakan aplikasi booking hotel. Pilihannya memang banyak, tetapi jangan harap bisa menemukan nama-nama hotel yang familiar seperti di kota-kota besar. Nampaknya, mayoritas penginapan di Toba adalah milik masyarakat atau pengusaha lokal yang memulai dari bawah, bukan hotel franchise seperti yang namanya sudah tidak asing. Saya hanya berpatokan pada rating di aplikasi, selain pada budget yang saya punya, dalam memilih hotel kali ini. Alhasil, saya memilih Hotel Nabasa yang tenyata sama sekali tidak mengecewakan karena spot pinggir danaunya yang bisa dibilang paling juara. Semakin yakin ketika saya melihat wajah Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin yang dipajang di resto hotel, menjadi semacam hall of fame bagi tokoh-tokoh ternama yang pernah berkunjung ke hotel ini. 

Di kiri kanan saya masih bisa melihat bagian belakang rumah-rumah warga di sekeliling danau, membuat saya bergumam dalam hati, "Beruntungnya mereka, pagi-pagi langsung bisa menghirup udara segar dan merasakan tenangnya hamparan air Danau Toba." Tambah ceria lagi senyuman saya ketika melihat permukaan danau yang begitu bersih, selembar sampah pun tak terlihat. Terima kasih, ya, untuk kalian yang sudah menjaga cantiknya Danau Toba, semoga tetap begini sampai anak cucu kita kelak bisa tetap menikmatinya. 

Tak lama beristirahat, saya pun melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya, yaitu Bukit Singgolom untuk melihat Danau Toba dari ketinggian. Sebelum ke sana, saya berhenti sejenak ketika melihat ada aktivitas para petani yang sedang bercocok tanam di sawah. Untuk apa? Ya, itu lah kami, pekerja media yang senang berburu potret-potret humanis kehidupan di desa. Terlepas dari profesi saya sebagai peliput, melihat sawah, petani, dan gembala kerbau merupakan momen langka bagi saya. Sempat saya berguyon dengan Kepala Dinas Pariwisata Toba Jhon Peter Silalahi, katanya, "Toba ini buat saya sudah biasa, tapi buat kalian pasti 'wah' sekali. Sama lah kayak kami, kalau lihat mall pasti masih kaget." 

Selain sawah, di sepanjang perjalanan menuju Singgolom nampak beberapa makam yang berdiri di kiri kanan jalan. Untungnya, selama berada di Toba, saya ditemani oleh seorang kawan fotografer, yang saya sapa Bang Yudha. Makam-makam itu, kata Yudha, melambangkan penghormatan masyarakat Batak Toba pada orang tua atau leluhur mereka. Sebisa mungkin, orang Batak akan memakamkan opung atau kakek/nenek mereka di tempat yang tinggi karena diyakini akan semakin dekat dengan Sang Pencipta. Makamnya pun dibuat bertingkat-tingkat hingga menyerupai tugu, beberapa lengkap dengan salib besar di puncaknya. Tradisi ini dinamakan Mangokal Holi, suatu upacara adat untuk memindahkan tulang belulang leluhur yang telah lama meninggal dan menguburkannya kembali di makam yang tinggi. 

Tak lama, sampailah saya di Bukit Singgolom. Cantiknya Danau Toba serta barisan hijau perbukitan yang mengitarinya tergambar jelas dari ketinggian Singgolom. Selain saya, ada juga beberapa wisatawan lokal yang sedang piknik bersama keluarga. Kata orang-orang, pemandangan matahari terbenam begitu menawan dari atas sini. Sayang sekali, saat saya berkunjung cuaca sedang mendung-mendungnya, tetapi bukan berarti semangat saya ikutan sendu. Duduk-duduk di pinggiran bukit sambil menghirup udara segar dan semilir angin sejuk rasanya menjadi penutup yang sempurna untuk hari pertama saya di Toba.

Hanyut dan gembira rasanya ketika berada di dimensi yang berbeda dari hiruk-pikuk kota. Momen-momen kecil ini seakan mengobati rindu saya pada kampung halaman, walaupun saya tidak benar-benar tahu dimana kampung saya berada. Terlahir dari keluarga besar yang seluruhnya sudah menetap di Jakarta membuat saya tak lagi punya gagasan tentang kampung halaman. Tak berlebihan lah, kalau akhirnya saya menyebut perjalanan kali ini sebagai sweet escape, suatu pelarian dari kenyataan yang begitu manis. Masih banyak kisah lainnya selama berada di Toba. Sampai jumpa di tulisan berikutnya, ya!


Terima kasih untuk Bang Levie Wardana (Camera person Metro TV) yang sudah gercep bikin video behind the scene selama di Toba. Semoga sedikit memberikan gambaran tentang Toba untuk para pembaca 😀


Gambar drone tipis-tipis tim Journey to Toba


 

A selfie from the top of Singgolom won't hurt :)



Ini kalau dilihat aslinya akan lebih ciamik. Noraknya aku, gambar sawah dan pohon jagung saja difoto.


Merekam helicopter view Balige. Penasaran hasilnya seperti apa? Kalau episode ini sudah tayang, tentu akan diposting juga di sini. In frame: Bang Yudha, Bang Sony, dan Bang Gonzales, para pengabdi gambar selama di Toba









Monday, 8 February 2021

Sewaktu ke Kalimantan Selatan

Banyak jurnalis senior berkata naluri kemanusiaan kita akan sangat berbicara ketika meliput peristiwa bencana. Peliputan bencana sejak awal tentu masuk dalam bucket list saya ketika pertama kali memulai karir sebagai reporter. Selain dibutuhkan ketahanan fisik, berada di lokasi bencana menuntut manajemen emosi yang stabil. Seorang jurnalis sejatinya juga seorang manusia yang memiliki orang tua, saudara, dan sahabat. Lantas, ketika turun ke lokasi bencana dan menyaksikan langsung erangan minta tolong para korban yang kehilangan sanak keluarga, tempat tinggal, dan harta benda, seorang jurnalis dituntut untuk menanggalkan kesedihan dan duka yang tentu turut dirasakannya. Akan tetapi, menanggalkan bukan berarti tidak berempati. Rasa empati itulah yang justru sangat dibutuhkan sebagai pendorong semangat, untuk melihat ruang-ruang yang belum diketahui oleh pemerintah maupun masyarakat di luar lokasi bencana. Seorang senior sempat mengatakan, kita perlu mengambil jarak sejenak dari rasa kesedihan untuk dapat berpikir jernih dalam mengolah informasi menjadi sebuah berita. 

Kesempatan untuk meliput bencana itu datang ketika terjadi banjir besar di Kalimantan Selatan pada Januari 2021. Saya bersama seeorang rekan camera person, Awaludin, ditugaskan untuk meliput selama lima hari. Tidak banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Kami dihubungi sekitar jam 8 malam untuk segera mencari tiket keberangkatan paling pagi keesokan harinya. Belum lagi kami harus mencari layanan tes cepat antigen, yang merupakan salah satu protokol perjalanan luar kota di tengah Pandemi Covid-19 yang masih merebak. Tidak banyak waktu untuk menghiraukan kekhawatiran. Tidak banyak tenaga untuk mengacuhkan ketakutan dan kebingungan. Ini sebuah tugas, yang barangkali menjadi salah satu tugas kemanusiaan yang saya kerjakan seumur perjalanan karir.

Perjalanan peliputan Kalimantan Selatan setidaknya terangkum dalam beberapa laporan ini. Banyak kisah dan cerita di baliknya. Semoga suatu waktu bisa menceritakannya lebih banyak.







Sunday, 10 January 2021

Bakudapa Kawanua Sulut

Ekspedisi kami telah sampai di bagian akhir. Pada episode Bakudapa Kawanua Sulut, kami tidak hanya bertandang ke Kota Manado, tapi juga berkesempatan mengunjungi Kota Bitung dan Kota Tomohon.

Kami memulai perjalanan dari Kota Bitung. Secara geografis, kota bitung berada di titik kilometer nol ujung belalai Pulau Sulawesi. Posisi strategis bitung yang menghadap kawasan Asia Pasifik, menjadikan Kota Bitung sebagai kawasan pelabuhan perikanan terbesar yang berada di utara Pulau Sulawesi.

Selain itu, tim ekspedisi juga mengunjungi daerah dataran tinggi Sulawesi Utara, yakni Kota Tomohon. Di sini, kami melihat pemanfaatan internet bagi para petani kembang untuk meningkatkan produktivitas mereka.

Perjalanan ekspedisi kami akhiri di Kota Manado, untuk melihat salah satu site Palapa Ring paket tengah. Palapa Ring paket tengah merupakan salah satu proyek strategis pemerintah berupa jaringan interkoneksi bawah laut yang berada di wilayah tengah Indonesia.

===

Berada di Sulawesi Utara terasa terlalu familiar. Di sinilah nenek moyang saya dilahirkan. Namun, seribu sayang, pengenalan saya akan tanah kawanua memang tidak begitu dalam. Tentu ekspedisi ini sekaligus memberikan kesempatan bagi saya untuk temu kangen dengan keramahan budaya yang tidak pernah asing di bawah alam sadar ini.

Saksikan tayangan Bakudapa Kawanua Sulut selengkapnya:


Credits:

Producer/director            : Bayu Noercahyo

Reporter/scriptwriter      : Marselina Tumundo

Camera person                : Deddy Utama

Drone                              : Leonard Lefkas

Production Assistant       : Weynand Simon

Editor                              : Dwi Septiansyah

Photographer                  : Usman Iskandar

Sunday, 3 January 2021

Get to Know Me

Marselina Tabita Tumundo is a full-time TV journalist, working in the pioneer of news television channel in the country, Metro TV. Fun fact, being a journalist was not her first dream as a kid. She once said that she aspired to find the cure for cancer; thus making the world a better place for everyone. Years later, she discovered that her interest is in social studies, which made her aware of a much bigger picture. She wants to be a part of radical change.

Along the journey, she found out that she's also changed a lot. She might find it a difficult task to define her definite passion in certain field, but that's the moment when she decided that she is a life-long learner. Her hunger to taste every bit of life has brought her to her first career as a journalist. 

2021 is her third year in the media industry. She has covered events from a wide range of topics: political, law, megapolitan, health, and human interest. For the last two years, she is delegated as one of the house press members. It builds to her the quality of a quick-witted and sociable personality. 

While she might not declare herself to possess the spirit of wanderlust, she has grown the enjoyment of traveling due to the prerequisite of being a dynamic journalist. She has been to certain places all across the country, from the west to the east. The number of cities she has visited might not be spectacular, yet she has gained much experience, which brings her the spirit of cherishing local wisdoms.

Aside from her occupation, she likes to read as well as to jot down her thoughts about things. She also enjoys the work of translation, where she can still apply her skills as an English literature graduate. She once was fond of teaching English to teenagers, and she is open to opportunities to also teach again one day.

When it comes to leisure time, she is a home cook for her family. Cooking and baking are her meditation. She is now equipping her kitchen to one day be a shrine of hers.

On top of all, she believes that this world is not her final home. She envisions an eternal life, but that does not mean that it is a waste of time living in the moment. She just wants to make her best in every opportunity to serve and to be a part of the society. 


Sunday, 13 December 2020

Titik Peradaban Budaya Toraja

“Saya ingin Toraja lebih dikenal seperti Bali. Memang Toraja sudah dikenal tetapi kita masih dikenal dari budaya kematian, itu saja.”

Tak pernah menyangka bisa mengenal Endy Allorante, seorang fotografer keturunan asli Toraja. Rumahnya bahkan masih berada dalam satu komplek desa adat Kete Kesu, Toraja Utara. Itu menunjukkan bahwa si penghuni masuk dalam garis keturunan tokoh adat Toraja yang sangat disegani. 

Memeluk erat budaya leluhur bukan berarti menutup diri dari dunia yang begitu luas. Endy pun memilih untuk tidak berdiam diri. Berbekal lensa kamera dan kemampuan persuasifnya untuk mengumpulkan para pencinta fotografi di Toraja, ia menghasilkan gambar-gambar yang berbicara tentang budaya Toraja.

Lain cerita ketika saya berjumpa dengan Layuk Sarungallo. Ia adalah seorang ketua adat Kete Kesu. Namun, bagi saya, pertemuan yang mungkin hanya sekali seumur hidup itu, seperti perjumpaan seorang keponakan dan paman yang sudah lama tidak bertemu. Keponakan itu sangat terkagum ketika mendengar si paman bercerita tentang perjuangannya mempertahankan prinsip hidup serta warisan dari generasi ke generasi. Filosofi hidupnya sebagai orang gunung begitu terpancang kuat, melebihi kekuatan beton-beton pencakar langit di kota besar. 

Satu hal lagi yang tak terlupakan dari perjalanan ini adalah ketika menghirup kopi Toraja di sebuah kedai sederhana, yang tak terpampang di pinggir jalan besar. Jalan-jalan ke Toraja Utara, sempatkanlah mampir ke kedai kopi Kaana Toraya Coffee. Saya sudah sejak lama menjadi penggemar kopi, tapi rasanya baru kali ini menemukan kasih mula-mula pada secangkir kopi. 

Perjalanan ekspedisi ke Toraja sungguh menyimpan kesan yang paling istimewa. Sampai jumpa lagi Toraja! 

Temukan kisah mereka selengkapnya di tayangan berikut:




Credits

Producer/director            : Bayu Noercahyo

Reporter/scriptwriter      : Marselina Tumundo

Camera person                : Deddy Utama

Drone                              : Leonard Lefkas

Production Assistant       : Weynand Simon

Editor                              : Dwi Septiansyah

Photographer                  : Usman Iskandar

Sunday, 22 November 2020

Bulukumba, Pesona Tanpa Batas!

Butta panrita lopi, begitulah julukan yang disematkan untuk tanah Bulukumba yang memiliki arti tanah pelaut ulung. Tak berlebihan memang, jika banyak penjelajah samudera yang handal lahir di tanah ini. Untuk mengarungi lautan samudera, mereka memiliki kapal layar yang tangguh yaitu kapal pinisi.

Pembuatan kapal pinisi memadukan sebuah keterampilan, sekaligus nilai kepercayaan. Hal ini lah yang membuat kapal pinisi diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco, pada Desember 2017 silam.

Estetika dan kemegahan pinisi dapat menjadi magnet bagi para pembeli. Tak hanya datang dari dalam negeri, pemesanan pinisi pun merambah hingga ke level luar negeri. 

Kami bertemu dengan seorang ahli pembuat kapal pinisi bernama Al Fhiand. Dirinya menuturkan, akses jaringan internet sangat dibutuhkan olehnya sebagai media promosi, serta sarana komunikasi dalam pemesanan kapal pinisi secara daring.



Credits

 

Producer/director            : Bayu Noercahyo

Reporter/scriptwriter      : Marselina Tumundo

Camera person                : Deddy Utama

Drone                              : Leonard Lefkas

Production Assistant       : Weynand Simon

Editor                              : Dwi Septiansyah

Photographer                  : Usman Iskandar

Thursday, 12 November 2020

Kota Pintar CItra Makassar

Hampir semua kota di indonesia kini berlomba menuju smart cityKonsep kota pintar diyakini dapat menjadi solusi atas sederet masalah perkotaan di dalam negeri.

Berbagai transformasi di segala bidang pun dimaksimalkan setiap kota, dengan konsep utama yakni menyinergikan teknologi. Pun demikian dengan Makassar.

Kota Daeng berkomitmen untuk mendorong pembangunan perkotaan.

Saksikan selengkapnya di kanal Youtube Metro TV berikut ini.



Credits

Producer/director            Bayu Noercahyo
Reporter/scriptwriter      : Marselina Tumundo
Camera person                : Deddy Utama
Drone                              : Leonard Lefkas
Production Assistant       : Weynand Simon
Editor                              : Dwi Septiansyah
Photographer                  : Usman Iskandar

Wednesday, 11 November 2020

BAKTI untuk Negeri, Ekspedisi Sulawesi

Pernahkah terpikir sebelumnya untuk menjelajahi sebuah pulau dalam kurun waktu 21 hari?

Kesempatan itu datang bahkan ketika saya tidak pernah membayangkannya sebelumnya. Tentu saya memiliki mimpi untuk dapat melihat dunia dari berbagai sudut pandang di setiap daerah, baik dalam maupun luar negeri. Dengan kata lain, setiap orang pasti suka jalan-jalan, termasuk saya. Perbedaannya, kali ini adalah untuk bekerja, sekaligus berplesir di sela-sela waktu yang memungkinkan.

Perjalanan menjelajahi Pulau Sulawesi itu terbingkai dalam program BAKTI untuk Negeri, Ekspedisi Sulawesi. 21 hari awalnya terdengar waktu yang cukup lama, tapi terasa seperti beberapa hari saja. Pulau Sulawesi sendiri terdiri dari enam provinsi, dan setiap provinsi terdiri dari belasan kota dan kabupaten. Jadi, 21 hari benar-benar seperti beberapa kedipan mata saja, yang syukurnya diselingi pemandangan indah lautan, gunung, dan kekayaan budaya bagian tengah Indonesia itu.

Singkatnya ekspedisi ini membawa kami ke empat kota dan kabupaten, dimulai dari Kota Makassar, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Toraja Utara, dan terakhir Kota Manado. 

Setiap tempat terangkum dalam satu episode program yang berdurasi 30 menit. Percayalah, bukan perkara mudah untuk menyajikan keunikan sebuah daerah hanya dalam waktu setengah jam. Kompleksitas kultur, kekayaan warisan budaya, dan peran masyarakatnya dalam bersumbangsih untuk negara tidak akan bisa didefinisikan oleh layar kami yang sangat terbatas. Akan tetapi, sedikit cuplikan dan kesaksian hidup dari setiap narasumber yang kami temui di lapangan, selayaknya manjur membuat setiap penonton mabuk dengan rasa penasaran untuk menyelami lebih dalam kekayaan tanah air.

Penting pula diingat bahwa ekspedisi ini mungkin tidak hadir di layar kaca atau peranti kita, tanpa adanya proses pra-produksi yang begitu menguras tenaga dan pikiran. Demi menghasilkan tayangan berdurasi 30 menit, setidaknya tim ekspedisi membutuhkan empat hari kerja untuk proses pengambilan gambar. Itu belum termasuk pitching ide serta proses editing video yang bisa memakan waktu total lebih dari satu minggu sampai suatu episode bisa dikatakan layak tayang. Terima kasih untuk rekan-rekan ekspedisi yang sudah rela berjibaku tanpa kata menyerah, meski di tengah perjalanan kerap menemukan kebuntuan atau kelelahan. 


Teaming up with you guys would be the best experience for my career journey!
Location: Kodingareng Keke Island, Makassar, South Sulawesi



Santai sejenak di tengah perjalanan enam jam Makassar-Bulukumba. Kami juga sempat menempuh perjalanan 13 jam dari Bulukumba-Tana Toraja. Bravo, team!



Bersama menjajaki goa mayat leluhur masyarakat Toraja.
Lokasi: Kete Kesu, Toraja Utara, Sulawesi Selatan


Berburu matahari terbenam. Agenda wajib setiap petang.
Lokasi: Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan


Malam hari di Manado menjadi penutup perjalanan kami.
Lokasi: Jembatan Ir.Soekarno, Manado, Sulawesi Utara


Nantikan setiap tayangan BAKTI untuk Negeri, Ekspedisi Sulawesi di Metro TV.

Sampai jumpa di entry berikutnya tentang episode 1 Kota Pintar Citra Makassar . 

Saturday, 19 January 2019

Skatepark, Oase Baru di Kolong Slipi

Wajah kolong flyover  Slipi, Petamburan, Jakarta Barat, yang sebelumnya kumuh dan dipenuhi sampah, kini disulap menjadi arena bermain skateboard. Tiap sore, skatepark  tersebut dipenuhi anak-anak remaja penggila skateboard. 

Skatepark itu sejatinya sedang dalam tahap penyelesaian pembangunannya. DIbangun sejak POktober 2018 lalu, arena bermain itu kini tengah dipasangi lampu dan alat kelengkapan taman lainnya.

Ahyar, 10, merupakan satu dari belasan pengunjung skatepark. Ia mengaku hampir saban sore bermain di skatepark Slipi karena dekat dengan rumahnya. Bersama saudaranya, Fadel, 12, mereka terus mengasah kemampuan skating dari jam 3 sore hingga jam 5 sore.

Sebelum dibangunnya skatepark, Ahyar dan kebanyakan anak-anak sebayanya di wilayah Kemanggisan biasa bermain di jalan raya. Skatestreet, begitu istilah mereka.

Meski tak kalah menyenangkan, bermain skateboard di wahana aslinya jauh lebih menantang buat mereka. Begitu mengetahui adanya skatepark di kolong layang Slipi, mereka langsung menyerbu arena adu ketangkasan tersebut.

"Enggak cuma adu ketangkasanm di sini juga tempat adu nyali," kata Ahyar bersemangat.

Peluh di dahinya terus bercucuran. Tanpa alat pengaman seperti helm, sepatu, serta pelindung siku dan lutut, ia terus menjajal lintasan bowl, lintasan yang berbentuk cekungan seperti mangkuk.

Para skateboarder cilik itu mengaku baru setahun terakhir menjajaki olahraga asal Amerika Serikat tersebut. Mereka harus menabung untuk bisa membeli sebuah skateboard seharga Rp 150 ribu hingga Rp 350 ribu.

Selain arena bowl, di taman Slipi juga terdapat arena half pipe rail. Alhasil, tak hanya para skateboarders, para pemain sepeda BMX juga ikut menikmati taman tersebut.

Karena berada di kolong flyover, pengunjung tetap dapat beraktivitas meski turun hujan. Suasana semakin asri dengan adanya tanaman di beberapa sudut. 

"Terima kasih buat pemerintah yang sudah menyediakan arena bermain ini. Kalau bisa di sini juga dibangun lapangan futsal," harap anak-anak itu.

Skatepark  Slipi berada persis di kolong Tol Cawang-Grogol dan jembatan layang yang menghubungkan Jalan S Parman dan Jalan Gatot Subroto.

Pengerjaan skatepark saat ini terus dikebut hingga rampung. Selain tempat sampah yang sudah tersedia, sejumlah lampu penerangan juga sedang dupasang petugas. Sarana toilet umum juga belum dibangun.

Reporter: Marselina Tabita
Editor: Mirza

Dimuat pada Harian Media Indonesia Sabtu, 19 Januari 2019

Monday, 16 July 2018

Testing the Water

For the last three and a half months, I got the biggest chance in my last year of college to take part in CNN Indonesia internship program. I gained much experience there that I can't hold to share. Recently, some of my friends asked about what I usually did there as an intern, was it difficult to do the job, was it fun, how much was the salary, and so on. So, sit still to read, because I'm so delighted to share!
And to make you guys easier to read, I'll write in Q&A format. Cheers!

1. How did you apply? Where did you get the open recruitment information?

Go check this link: http://internship.cnnindonesia.com/ 
Once you open the link, you'll get the complete information and steps to apply for CNN Indonesia IDP (Internship Development Program).

Other tips would be:
🔶 Keep updated with job vacancy accounts in Instagram or even Line@ (follow the reputable ones).
🔶 Exchange information with your friends would also be helpful.

2. In what position? What did you do?

I was in charged as Production Assistant at CNN Indonesia The World Tonight (Every day, 10 pm only on CNN Indonesia :3 ).
My main task was to input the texts which you can see on your screen, such as headline (the news' title), sub-headline (a simple sentence highlighting the most important information for the audience to know), location where the visual/video was taken, name and attribution of someone talking to the camera, and lastly source of the video. To input those texts, there's this technology called CG (character generator). To maximally utilize CG device, I simply copy and paste the text from the news script and preview every element of CG (headline, sub, location, etc) to make sure that there are no typos or misspells. Concentration and focus are highly demanded here! Plus, a knowledge of Indonesian words spelling according to KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) would extremely beneficial to save more time!

After around two weeks I had focused only on CG, I was finally given the responsibility to write news scripts (At this time, I was so stoked because THAT WAS WHAT I REALLY WANTED TO LEARN FROM THE INTERNSHIP, yeah!) #grateful.
For a starter, I practiced to write showbiz news, such as new released video clips or movie trailers. After playing on showbiz for couple of weeks, I tried writing international soft news. Soft news covers not so serious events, like festivals, newborn pandas, inventions of technology, fancy foods, museums, and so on. Once in a while, I also challenged myself to write something related to sports. What I mean with "related to sports" is that I didn't write about the match or the standings which are over my head. Things I wrote about sports are namely fun facts about FIFA World Cup 2018, technologies supporting exercise tools, a child somewhere in Brazil who is called 'The Next Neymar', and so on.
The highest level I wrote was international hard news. International hard basically tells about international politics, economy, international relation, also disasters like what happened in Kilauea volcano, floods in China, or the 13 football players trapped in a cave in Thailand.

All in all, I needed to embrace all the process as an intern. Not all scripts I wrote were accepted by the producers. Sometimes, they had to change some words here and there in my scripts, whether I liked the changes or not. However, I managed to discuss the changes with them to find out the reasons for every detail. That way, I got the learning process to later use this knowledge to produce a good news script in the future. Although there were still some mistakes in my writings, learning from the experts was the best rescue that could ever help me with my ambition as a journalist.


3. Did you enjoy being there?

I surely did! In fact, I felt like I was so lucky to be in such environment with its professionalism and friendship. In  my first day, I can't deny that I also had that butterfly in my stomach. But come on, there's always first time for everyone, right? And as soon as I got placed in the program The World Tonight, I was warmly welcomed by the producers and the PAs. They were both coworkers and family to me. Technically, they were my mentors whose jobs were to assign me what I should do and to show me how to do the tasks as Production Assistant. As mentors, they were excellently and patiently taught me to become a sterling news writer; one who writes with precise judgement and catchy angle at the same time. Every day, I practiced writing news in my first three hours as soon as I arrived at the office. Writing news script, at which you can't really improvise with something you personally want, would be burdensome (at least for me, the newbie :3 ). That's the time when I realized those PAs (Mbak Erie, Kak Karina, Mas Awang, and luckily Kak Elisa at the very last days!) are also my sisters and brother. We told stories from the very casual topics, like the latest cheap music video from John Mayer or the jokes from Ocean's 8 movie, to something really serious and sensitive, such as radicalism, religions, marriage, and many other stories. Well, basically we started almost every conversation from the news we just heard from the TVs surrounding our room. That's what I like from this job, you'll never run out of topics to talk about.

From my internship, I also could reminisce several big moments according to the highlight that we were working on together. For example, every time I see Duke and Duchess of Sussex, Harry and Meghan, I recall my moments with them together watching that luxurious, historical, royal wedding. Also, I got the chance to take part handling the breaking news of the heart-pounding bombing terror in East Java. That's when Kak Karina and I  passionately discussed terrorism in our country. Then on June 5 when we should kind of 'celebrate' the international environment day, we watched one special news item talking about plastic waste on sea, especially from straws. From that day on, we collectively bore to mind that we should stop using straws for our beverages. We just couldn't agree more that using straws while you can still sip the water from the cup's rim is not cool!

I'm also glad to share how the producers treated me as an intern. Professionally and hierarchically, they were my bosses (sugarcoated: my supervisors). Well, scratch that because I only saw superb and fabulous teachers! They were 'bosses' that I had never asked for, but there they were. They may not be so extraordinary at all times, but they're so inspiring even in ordinary ways. If one day I succeed to become a journalist, it's not because of my major in college. I was just so blessed to have them teaching me how to be critical, how to highlight things differently, how to write a news that tells story. Beyond all the fun, I am grateful for the opportunity to learn and practice those skills directly in professional broadcast media. How they also trusted me to contribute in writing several news items also showed that they appreciate everyone's effort, even an intern.

Towards my last days, all I can say was time run really fast that I had almost reached June 30, my very last day. Because yeah, thank God, I did enjoy and was as keen as mustard about everything there!

4. How much was the salary for intern?

Well, it's not that I don't want to transparently share, but I sincerely don't know the exact answer by now. Two weeks after my internship program had completed, I haven't received my allowance yet. Unfortunately, I've got to wait for a couple more weeks until the human resource and finance department finish recapping all those administrative stuffs to finally compensate the interns' sweat :")

But here's the thing. In my honest opinion, when you apply for internship program, you can't expect an amount of cash you call salary. Although there are now many companies are promising that, just don't depend on it to support your operational expenses (transportation, meals, etc). Be prepared to cover your needs independently, and assume you'll get the allowance as a bonus.

5. Did you get the opportunity (the golden ticket!) to continue working there as an employee?

The issue of getting the golden ticket to work in a company after joining the internship program is always a hot potato to talk about. I was hoping for that for sure. However, not all interns are given the privilege after all. But I have one story of my intern friend, Avinda who was got promoted by her supervisor to continue working as an employer without even had to compete with other job seekers. All I know is that it was because Avinda's program was currently in need of extra hands. Her story is different from mine.

Nevertheless, don't be discouraged! Being an intern for more than three months, you sure could have a bunch of information about the recruitment. You'll also have the certificate that you can use as a legitimate proof showing that you have the experience and you are qualified for that industry (if you are indeed planning to work at the same company).

========================================================================

I hope what I write here could inspire you so that you're not afraid to take a huge step by joining an internship program anywhere you like while you are still a college student. Entering the workforce would be more convenient if we already had tested the water. At the end, we just need to enjoy and love what we do. Embrace every process and always keep on making every effort :)

Forget to also attach some pictures --" there you go


Pic 1 (left to right) Mas Rayhan, Kak Gabby, Kak Karina, me!, Mbak Mira, Mas Saiful, Mas Avandi, last but not least Kak Rista


Pic 2. Mbak Amelia Yachya and I! The anchor who has the warmest smile and welcome. Salute!


Pic 3. Too bad I had to return it to the human capital


Pic 4. Meet Avinda! If you're reading this, I miss you my 'temen jajan dan temen pantry'. You go girl! See you on top.


Pic 5. My very last day was well spent with these two excellent mentors Mas Awang and Kak Karina.


Pic 6. This girl next to me is Ais whose head is so full with political matters from that political program next door.


Pic 7. Get a glimpse of what happens behind your screen.


Pic 8. Another mandatory photo spot. With Om Verry, Mas Gentur, Kang Cep Hari, Mbak Erie, Kak Karin, Mas Dinar, and Mas Hakim

Wednesday, 28 February 2018

Peron Malam Hari

di suatu peron malam hari
baru saja terjebak dalam rindu dan dengki
mengira soal kata itu kecil
sebelum menghadap perkara sulit

sampai tiba kereta datang
dengan sorotan lampu terlampau terang
mesin itu seperti mengerang
terlalu cepat seperti tak mau dikekang

indra sepakat mengirim impuls ke otak
loncat saja? biar ramai katanya
agar sekaligus raga memekik teriak
dan tidak lagi repot dengan urusan dunianya

dia itu kuat, mereka bilang
dia itu mandiri, mereka lihat
dia mana mungkin menggila, mereka kira
dia hidup dalam kedamaian, mereka keliru

di suatu peron malam hari
dia hanya butuh pulang
barangkali ke rumah
barangkali ke perhentian

-----