GET TO KNOW ME!

Get to Know Me

Marselina Tabita Tumundo is a full-time TV journalist, working in the pioneer of news television channel in the country, Metro TV. Fun fact,...

Monday, 23 August 2021

Toba Sweet Escape

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah mendengar nama Danau Toba sebagai salah satu fenomena alam yang membanggakan bagi Indonesia. Danau Toba merupakan danau yang terbentuk akibat terjadinya letusan gunung vulkanik sekitar 74.000 tahun lalu. Letusannya disebut-sebut begitu dahsyat, bahkan sangat berbahaya hingga mengancam kehidupan manusia pada saat itu.

Tapi, siapa sangka tragedi alam yang disaksikan nenek moyang kita dulu menjadi panorama yang begitu indah. Di sekelilingnya hidup peradaban manusia dengan tanah yang subur, yang terus berkembang hingga zaman modern. Saya pun beruntung karena bisa menginjakkan kaki di Toba bertepatan dengan momen hari kemerdekaan di HUT ke-76 Republik Indonesia. Meskipun perjalanan kali ini termasuk perjalanan dinas kantor, Toba tetap memberikan kenangan tersendiri bagi saya, sehingga mendorong saya untuk menuangkan segala hal yang bisa saya ingat tentang Toba melalui tulisan ini. Dalam tulisan ini, saya ajak anda meresapi keindahan Danau Toba dari suatu wilayah di bagian selatannya, yaitu Kabupaten Toba. Tentu, saya juga akan memperkenalkan anda pada budaya masyarakat lokal yang mayoritasnya adalah keturunan asli Suku Batak Toba.

Sepiring mie gomak menjadi menu pertama saya setibanya di Balige, Toba. Mie gomak nampaknya menjadi menu sarapan andalan di sini, layaknya nasi uduk atau bubur ayam kalau di Jakarta. Mie gomak memiliki tekstur yang kenyal dan ukuran mie yang besar-besar, dipadukan dengan lauk seperti telur balado, sayur labu kuah santan, serta ikan teri. Tak perlu mahal-mahal, mie gomak ini harganya hanya 10 ribu rupiah.

Dari kedai inilah, saya pertama kali merasakan kearifan lokal yang begitu kental. Ketika ingin membayar mie gomak, sang ibu pemilik kedai pun memulai percakapan dengan bertanya, "Orang ibu dari mana?" Nah, ini dia yang saya tunggu-tunggu, mendengar logat khas Batak langsung di tanah asalnya. Lekukan lidah khas bernada tegas dengan suara lantang, yang sebelumnya cuma saya dengar dari teman-teman perantau ketika berada di kampus. Sekarang, saya berpijak di kampung halaman mereka.

Penerbangan pukul 6 pagi dari Jakarta membuat saya masih terkantuk-kantuk walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 11. Alhasil, saya lanjut mencari kopi. Berkunjunglah saya ke Kedai Kopi Partungkoan, di Jalan Sisingamangaraja nomor 172, masih di Balige. Kedai ini sudah berdiri sejak tahun 1954. Kepemilikannya pun sudah turun-temurun sampai tiga generasi. Kali itu, saya bertemu dan mewawancarai Rohani Tampubolon sebagai pemilik Partungkoan generasi kedua, yang mengizinkan saya memanggilnya dengan sebutan Eda. Dalam budaya Batak, Eda merupakan kata sapaan bagi sesama perempuan. 

Eda Rohani bercerita, nama Partungkoan (Partukkoan) memiliki arti tempat berkumpulnya para tetua-tetua adat untuk bermusyawarah, bermufakat, dan  merumuskan sebuah peraturan. Nama itu pun menjadi bukti bahwa berkomunikasi dan bermasyarakat sudah dibudayakan oleh nenek moyang kita sejak dulu, dan tentu diharapkan menjadi suatu kebiasaan yang terus relevan hingga saat ini dan di masa mendatang. 

Puas mengisi perut, saya bergegas ke penginapan untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pekerjaan. Awalnya, saya cukup kesulitan mencari penginapan di Toba sekalipun telah menggunakan aplikasi booking hotel. Pilihannya memang banyak, tetapi jangan harap bisa menemukan nama-nama hotel yang familiar seperti di kota-kota besar. Nampaknya, mayoritas penginapan di Toba adalah milik masyarakat atau pengusaha lokal yang memulai dari bawah, bukan hotel franchise seperti yang namanya sudah tidak asing. Saya hanya berpatokan pada rating di aplikasi, selain pada budget yang saya punya, dalam memilih hotel kali ini. Alhasil, saya memilih Hotel Nabasa yang tenyata sama sekali tidak mengecewakan karena spot pinggir danaunya yang bisa dibilang paling juara. Semakin yakin ketika saya melihat wajah Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin yang dipajang di resto hotel, menjadi semacam hall of fame bagi tokoh-tokoh ternama yang pernah berkunjung ke hotel ini. 

Di kiri kanan saya masih bisa melihat bagian belakang rumah-rumah warga di sekeliling danau, membuat saya bergumam dalam hati, "Beruntungnya mereka, pagi-pagi langsung bisa menghirup udara segar dan merasakan tenangnya hamparan air Danau Toba." Tambah ceria lagi senyuman saya ketika melihat permukaan danau yang begitu bersih, selembar sampah pun tak terlihat. Terima kasih, ya, untuk kalian yang sudah menjaga cantiknya Danau Toba, semoga tetap begini sampai anak cucu kita kelak bisa tetap menikmatinya. 

Tak lama beristirahat, saya pun melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya, yaitu Bukit Singgolom untuk melihat Danau Toba dari ketinggian. Sebelum ke sana, saya berhenti sejenak ketika melihat ada aktivitas para petani yang sedang bercocok tanam di sawah. Untuk apa? Ya, itu lah kami, pekerja media yang senang berburu potret-potret humanis kehidupan di desa. Terlepas dari profesi saya sebagai peliput, melihat sawah, petani, dan gembala kerbau merupakan momen langka bagi saya. Sempat saya berguyon dengan Kepala Dinas Pariwisata Toba Jhon Peter Silalahi, katanya, "Toba ini buat saya sudah biasa, tapi buat kalian pasti 'wah' sekali. Sama lah kayak kami, kalau lihat mall pasti masih kaget." 

Selain sawah, di sepanjang perjalanan menuju Singgolom nampak beberapa makam yang berdiri di kiri kanan jalan. Untungnya, selama berada di Toba, saya ditemani oleh seorang kawan fotografer, yang saya sapa Bang Yudha. Makam-makam itu, kata Yudha, melambangkan penghormatan masyarakat Batak Toba pada orang tua atau leluhur mereka. Sebisa mungkin, orang Batak akan memakamkan opung atau kakek/nenek mereka di tempat yang tinggi karena diyakini akan semakin dekat dengan Sang Pencipta. Makamnya pun dibuat bertingkat-tingkat hingga menyerupai tugu, beberapa lengkap dengan salib besar di puncaknya. Tradisi ini dinamakan Mangokal Holi, suatu upacara adat untuk memindahkan tulang belulang leluhur yang telah lama meninggal dan menguburkannya kembali di makam yang tinggi. 

Tak lama, sampailah saya di Bukit Singgolom. Cantiknya Danau Toba serta barisan hijau perbukitan yang mengitarinya tergambar jelas dari ketinggian Singgolom. Selain saya, ada juga beberapa wisatawan lokal yang sedang piknik bersama keluarga. Kata orang-orang, pemandangan matahari terbenam begitu menawan dari atas sini. Sayang sekali, saat saya berkunjung cuaca sedang mendung-mendungnya, tetapi bukan berarti semangat saya ikutan sendu. Duduk-duduk di pinggiran bukit sambil menghirup udara segar dan semilir angin sejuk rasanya menjadi penutup yang sempurna untuk hari pertama saya di Toba.

Hanyut dan gembira rasanya ketika berada di dimensi yang berbeda dari hiruk-pikuk kota. Momen-momen kecil ini seakan mengobati rindu saya pada kampung halaman, walaupun saya tidak benar-benar tahu dimana kampung saya berada. Terlahir dari keluarga besar yang seluruhnya sudah menetap di Jakarta membuat saya tak lagi punya gagasan tentang kampung halaman. Tak berlebihan lah, kalau akhirnya saya menyebut perjalanan kali ini sebagai sweet escape, suatu pelarian dari kenyataan yang begitu manis. Masih banyak kisah lainnya selama berada di Toba. Sampai jumpa di tulisan berikutnya, ya!


Terima kasih untuk Bang Levie Wardana (Camera person Metro TV) yang sudah gercep bikin video behind the scene selama di Toba. Semoga sedikit memberikan gambaran tentang Toba untuk para pembaca 😀


Gambar drone tipis-tipis tim Journey to Toba


 

A selfie from the top of Singgolom won't hurt :)



Ini kalau dilihat aslinya akan lebih ciamik. Noraknya aku, gambar sawah dan pohon jagung saja difoto.


Merekam helicopter view Balige. Penasaran hasilnya seperti apa? Kalau episode ini sudah tayang, tentu akan diposting juga di sini. In frame: Bang Yudha, Bang Sony, dan Bang Gonzales, para pengabdi gambar selama di Toba









No comments:

Post a Comment